Pemerintah AS Kritik QRIS dan GPN Indonesia, BCA Tetap Dukung Sistem Pembayaran Nasional
Menanggapi kritik tersebut, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyatakan komitmennya untuk terus mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mengembangkan sistem pembayaran digital dalam negeri. Melalui Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, disampaikan bahwa BCA secara aktif menyediakan infrastruktur pembayaran berbasis QRIS sebagai bentuk kontribusi terhadap ekosistem keuangan nasional. Dengan kata lain, meski kebijakan QRIS dan GPN dikecam oleh Amerika Serikat, lembaga keuangan nasional seperti BCA tetap memberikan dukungan penuh terhadap arah kebijakan tersebut.
Selain QRIS konvensional, BCA juga telah menerapkan teknologi baru bernama QRIS TAP yang menggunakan Near Field Communication (NFC) untuk kemudahan transaksi tanpa perlu pemindaian manual. QRIS TAP kini sudah tersedia di lebih dari 324.000 merchant di seluruh Indonesia, memperkuat posisi BCA sebagai pionir dalam implementasi sistem pembayaran digital berbasis kebijakan nasional.
Kritik dari Amerika Serikat dituangkan dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis pada 31 Maret 2025. Dalam laporan ini, Pemerintah AS menyebut bahwa proses penyusunan kebijakan QRIS dan GPN tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional, termasuk perusahaan-perusahaan asal AS yang beroperasi di sektor layanan pembayaran dan keuangan. Ketiadaan partisipasi dalam proses tersebut menjadi salah satu poin utama keberatan yang disampaikan oleh USTR.
Selain itu, Pemerintah AS juga menyuarakan keberatan atas pembatasan kepemilikan asing dalam pengelolaan layanan switching untuk GPN. Berdasarkan Peraturan BI No. 19/08/2017, hanya lembaga switching yang berizin dari Bank Indonesia yang dapat mengelola transaksi debit dan kredit ritel domestik, serta kepemilikan asing dibatasi maksimal 20%. AS menilai aturan ini tidak sejalan dengan semangat keterbukaan dan integrasi sistem keuangan global.
Ketentuan lain yang menjadi sorotan adalah kewajiban kerja sama dengan penyedia switching dalam negeri bagi perusahaan asing yang ingin memasuki pasar Indonesia. Persetujuan hanya diberikan jika mitra asing terbukti berkomitmen mendukung pengembangan industri domestik, termasuk dalam hal transfer teknologi. Langkah ini menurut AS memperumit proses ekspansi perusahaan keuangan asing ke dalam sistem pembayaran nasional Indonesia.
Lebih lanjut, laporan USTR juga menyoroti Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Blueprint ini membatasi kepemilikan asing pada operator sistem pembayaran non-bank hingga 85%, namun dengan hak suara hanya 49%. Sementara itu, untuk operator sistem back-end, batas kepemilikan asing tetap di angka 20%. Ketentuan ini dinilai membatasi peran aktif perusahaan luar negeri dalam membentuk ekosistem keuangan digital Indonesia.
AS juga mempertanyakan kebijakan terbaru yang mewajibkan semua transaksi kartu kredit diproses melalui GPN, serta kebijakan pemerintah daerah yang mewajibkan penggunaan kartu kredit tertentu yang dikeluarkan dan diproses melalui sistem dalam negeri. Dalam pandangan Pemerintah AS, hal ini tidak hanya membatasi kebebasan konsumen, tetapi juga menghambat akses perusahaan asing terhadap pasar pembayaran elektronik di Indonesia.
Meski demikian, BCA tidak gentar dalam menghadapi kritik dari negara mitra dagang tersebut. Hera F. Haryn kembali menegaskan bahwa BCA tetap fokus pada pengembangan teknologi pembayaran domestik dengan tetap mengikuti regulasi dari Bank Indonesia. Inisiatif seperti integrasi QRIS dalam aplikasi myBCA dan ekspansi QRIS TAP merupakan bukti nyata bahwa BCA berupaya menjadi bagian dari transformasi digital di sektor keuangan tanah air.
QRIS sebagai sistem pembayaran berbasis QR code yang seragam secara nasional diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 21/2019. Sistem ini bertujuan untuk menyatukan berbagai metode pembayaran digital yang selama ini terfragmentasi. Dengan QRIS, konsumen dapat melakukan pembayaran di berbagai merchant hanya dengan satu standar kode QR yang didukung oleh berbagai penyedia jasa keuangan.
Sementara GPN atau Gerbang Pembayaran Nasional merupakan sistem yang dirancang untuk mengintegrasikan berbagai jaringan pembayaran domestik dalam satu platform nasional. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dominasi jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard, serta memperkuat kedaulatan sistem pembayaran Indonesia. Dukungan dari bank-bank besar seperti BCA merupakan kunci keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan ini secara menyeluruh.
Dengan lebih dari 324.000 merchant yang telah menerima QRIS TAP, BCA menunjukkan kapabilitasnya dalam membangun jaringan pembayaran digital yang inklusif dan efisien. Penggunaan teknologi NFC juga membuka peluang bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi, tanpa memerlukan perangkat tambahan yang rumit atau mahal.
Respons positif BCA juga menjadi cerminan bahwa meskipun kebijakan QRIS dan GPN mendapatkan tekanan internasional, lembaga keuangan nasional tetap melihatnya sebagai langkah strategis dalam memperkuat stabilitas dan efisiensi sistem pembayaran. Di tengah dinamika geopolitik dan negosiasi tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat, langkah BCA menjadi contoh bahwa kemajuan teknologi finansial dapat berjalan seiring dengan kepentingan nasional.
Dalam konteks globalisasi, kebijakan yang memperkuat sistem domestik memang bisa dipandang sebagai proteksionis. Namun, dari sisi kedaulatan keuangan, langkah seperti penguatan QRIS dan GPN justru penting untuk menjaga independensi sistem keuangan dari dominasi asing. Keberadaan regulasi seperti pembatasan kepemilikan asing, alih teknologi, dan kewajiban kerja sama dengan mitra lokal merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan sistem keuangan nasional yang berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia sendiri belum memberikan tanggapan resmi terhadap kritik yang disampaikan oleh Pemerintah AS melalui laporan USTR. Namun demikian, Bank Indonesia sebelumnya telah menegaskan bahwa semua kebijakan terkait QRIS dan GPN dirancang untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mendukung transformasi digital nasional, yang menjadi salah satu pilar dalam agenda pembangunan jangka panjang.
Dengan berbagai tantangan dan tekanan yang datang dari luar negeri, terutama dari negara ekonomi besar seperti Amerika Serikat, pelaku industri keuangan di Indonesia dituntut untuk tetap adaptif, inovatif, namun tetap patuh terhadap kebijakan regulator. Dukungan dari institusi seperti BCA menjadi komponen penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem sistem pembayaran nasional, termasuk QRIS dan GPN, di tengah persaingan global yang semakin kompleks.